Home » , » Jurnalis, Menulis dengan Daya Pikat

Jurnalis, Menulis dengan Daya Pikat

Pada dasarnya bahasa jurnalistik dibangun berdasarkan kesadaran akan terbatasnya mang dan waktu. Dalam jurnalistik dituntut kemampuan komunikasi yang cepat dalam ruangan dan waktu yang sangat terbatas. Istilah populernya adalah ekonomi kata. Kata dibuat seringkas mungkin, dengan kemampuan mengkomunikasikan ide seefisien mungkin.
Perlu dicatat, bahwa media massa pada umumnya berupaya memasukkan item berita sebanyak mungkin. Kian banyak item berarti berita yang dimuat kian banyak. Itu artinya setiap tulisan harus berdesak-desakan dan bersaing untuk bisa dimuat dalam ruangan yang terbatas.


Belakangan ini bahasa jurnalistik cukup mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Apalagi di beberapa penerbitan dan media massa besar secara struktural ada seorang redaktur bahasa. Kata dan kalimat yang umum dijumpai dalam makalah jelas tidak memiliki tempat dalam bahasa jurnalistik. Apalagi dalam model bertutur yang berputar-putar dan terlalu banyak menggunakan peristilahan asing. Juga kalimat-kalimat versi pejabat yang membingungkan dan jargonis, kecuali untuk bahan kutipan, sama sekali mubasir.
            Karena keterbatasan ruang    dan waktu, alinea dalam penulisan jurnalistik harus pendek. Bahasa yang dipergunakan mesti lugas. Setiap alinea terdiri sekitar 4-5 kalimat. Setiap kalimat harus diusahakan tak lebih dari 12 kata.
            Ekonomi kata yang berlaku sebagai kaidah baku dalam bahasa jurnalistik harus memenuhi dua ketentuan, yaitu harus hemat dan jelas. Contoh:

1) Ada beberapa kata yang sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa
    dan kejelasan artinya.
            Misal:
   agar supaya -------- cukup ditulis: agar, supaya
               tidak-----------------    tak
   akan tetapi ---------   tapi
   bilamana-----------    bila
   menjadi ------------    jadi
   sehingga-----------     hingga
   walaupun----------     walau

2) Kata daripada atau dari pada seringkali bisa disingkat dan cukup ditulis dari.
            Misal:
"Keadaan di jaman kolonial Belanda lebih baik daripada sekarang". (Bisa ditulis menjadi: "Keadaan jaman kolonial Belanda lebih baik dari sekarang").
   
    Kerap digunakan juga kata ketimbang sebagai kata dari pada. Tapi kata dari di sini
    sesungguhnya lebih hemat.

3) Pemakaian kata dari sebagai terjemahan dari of (Ing.) yang sering disalahkaprahkan
    para "pejabat" dengan pengucapan daripada bisa ditiadakan. Kata ini banyak
    berhamburan dari mulut pejabat seringkali mengesankan sebagai sebuah      
    "kebingungan" atau "kegagapan".
            Misal:
"Hal ini adalah amanat langsung Bapak Daripada Pembangunan". (Bisa disingkat jadi: "Hal ini adalah amanat langsung Bapak Pembangunan).

"Gunung Kidul merupakan wilayah daripada Yogya". (Bisa disingkat jadi: "Gunung Kidul merupakan wilayah Yogya").
 
"Kita harus menghormati hak-hak daripada azasi," ucap Menpen Harmoko dalam temu kader minggu lalu. (Bisa ditulis: "...hak-hak azasi...")
 
4) Ejaan yang salah kaprah bisa dibetulkan justru dengan cara menghemat kata.

           Misal:
           sjah......…….   sah
           khawatir…....  kuatir
           akhli…….......  ahli
           tammat…......  tamat

5) Mengganti kata dengan sinonim yang lebih pendek.

           Misal:
            makin...…….  kian
            sekarang……  kini
            demikian……  begitu
            terkejut…....    kaget
 
6) Penghematan juga bisa dilakukan pada struktur kalimat. Kata di awal kalimat yang
    tak diperlukan bisa dihapus.
Contoh:
"Adalah merupakan kenyataan, bahwa aktor politik berubah tapi sistemnya tetap". (Bisa disingkat menjadi: "Merupakan kenyataan, bahwa  ")
 
"Apa yang dikatakan Presiden Bush tidak jelas". (Bisa disingkat: "Yang .dikatakan Presiden Bush .... ").
 
7) Pemakaian apakah atau apa (pengaruh bahasa Jawa) bisa ditiadakan.
Misal:
"Apakah nasib pers Indonesia akan terus tergantung pada kebijakan Harmoko". (Bisa ditulis: "Akan terus tergantungkah nasib pers Indonesia ....").

"Baik kita lihat, apakah Menpen dia di kantor atau tidak". (Bisa disingkat: "Baik kita   lihat, Menpen di kantor atau tidak").

8) Pemakaian untuk sebagai terjemahan to (Ing.) bisa dihapus.
Misal:
"Komnas HAM cenderung untuk mengakui adanya kesalahan prosedural ABRI di Aceh " . (Bisa disingkat: "Komnas HAM cenderung mengakui . .).

            "Upaya mantan Menhut Soeripto menggugat Gus Dur itu mudah untuk
dipahami".  (Bisa ditulis: Upaya mantan Menhut Soeripto menggugat Gus Dur itu mudah  dipahami").

9) Pemakaian adalah sebagai terjemahan is dan are seringkali bisa ditiadakan.
Misal:

"Tugas ABRI seharusnya adalah membela rakyat". (Bisa ditulis: "Tugas ABRI seharusnya membela rakyat").


10) Pemakaian akan, telah, sedang, tengah sebagai penunjuk waktu bisa dihapus bila
      ada keterangan waktu.
Misal:
"Para wartawan besok akan diajak meninjau keadaan di Tobelo". (Bisa ditulis: "Para wartawan besok diajak ...").

            "Tadi telah dikatakan ...". (Bisa ditulis: "Tadi dikatakan...").
 
"Kini Presiden Megawati sedang sibuk mempersiapkan pengamanan Suksesi 2004". (Bisa ditulis: "Kini Presiden Megawati sibuk .... ").
 
11) Kata yang sebagai penghubung kata benda dan kata sifat dalam konteks kalimat
      tertentu bisa ditiadakan.
Misal:
"Kami adalah pewaris yang sah dari Indonesia Proklamasi 45". (Bisa ditulis:  "Kami pewaris sah Indonesia Proklamasi 45").
  
"Australia harus menjadi tetangga yang baik dari Indonesia". (Bisa ditulis: "Australia harus menjadi tetangga baik Indonesia").
  
12) Kata bahwa kadang tidak diperlukan.
            Misal:

            "Anggota Komisi V DPR RI, Tajuddin Noorsaid membantah desas-desus yang

mengatakan bahwa ia akan direcall". (Bisa ditulis: "Anggota Komisi V DPR RI,   Tajuddin Noorsaid membantah desas-desus yang mengatakan ia akan direcall").
 
13) Pembentukan kata benda (ke-an atau pe-an) yang berasal dari kata kerja atau kata
      sifat, atau kata kerja (me-an) yang kerap menambah beban kalimat bisa    
      dihapuskan.
Misal:
"Tanggul Ciliwung kemarin mengalami kebobolan. (Bisa ditulis: "Tanggul Ciliwung kemarin bobol").

"Ia telah tiga kali melakukan penipuan terhadap rakyat Indonesia". (Bisa ditulis: "Ia telah tiga kali menipu rakyat Indonesia).

14) Kata-kata "sampah" di mana, pada siapa, dengan siapa, di mana di sini, yang
      mana yang ini, dll (akibat pengaruh kata asing) bisa dibuang total.
Misal:
"Penyakit AIDS dianggap berasal dari Haiti tempat di mana komunitas kaum gay paling besar". (Bisa ditulis: Penyakit AIDS dianggap berasal dari Haiti tempat komunitas gay paling besar").

"Dalam pidato Sukarno di mana di situ secara jelas dikatakan Indonesia bakal keluar dari PBB". (Bisa ditulis: "Dalam pidato Sukarno secara jelas dikatakan Indonesia akan keluar dari PBB").
 
15) Kata "di...kan" (pasif    ) yang diikuti oleh bisa dihilangkan kadang dengan cara
      mengaktifkannya. Kata oleh yang ditempatkan dalam kalimat pasif seringkali bisa
      dibuang begitu saja.
Misal:
"Acara ini dipersembahkan oleh kacang Cap Dua Kelinci" (Bisa ditulis: "    Acara ini persembahan kacang Cap Dua Kelinci").

"Karena sakit-sakitan, Amir dilarang oleh ayahnya naik gunung", (Bisa ditulis: " ..dilarang ayahnya naik gunung" atau diaktifkan menjadi: Ayah melarang Amir naik gunung karena  sakit-sakitan).

16) Kontaminasi kata adalah penempatan kata yang tidak tepat yang kerap
      menimbulkan kerancuan kalimat. Pembetulan kontaminasi kerap merupakan    
      efisiensi kalimat.
Misal:
"Sementara kalangan, terutama pengusaha kecap, memuji produk mereka tetap nomor satu."
("Sementara" di sini bisa diartikan sebagai waktu, tapi sebenarnya diartikan sebagai "sejumlah" atau"beberapa").

Kerancuan kerap juga merupakan kombinasi dua kata sebagai berikut: "demi untuk", "agar supaya", "berhubung karena", "disebabkan oleh". Semuanya bisa
            dihilangkan kata ke duanya.

17) Pemakaian tanda baca yang berlebihan, meski benar versi EYD, bisa diabaikan.
Misal:
"Direktur Elsam adalah Bapak Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H. L.LM,
sedangkan anggota boardnya antara lain Ir. Agus Rumansara M.Sc.
(bisa ditulis sebagai ..Abdul Hakim Garuda Nusantara SH LLM, sedangkan anggota boardnya adalah Ir Agus Rumansara MSc.

18) Penggunaan kata “banyak” yang diikuti kata ulang (jamak) adalah merupakan
fenomena hiperbolis dari penjamakan sebuah kata. Kata “banyak” bisa dihilangkan atau mengubah kata ulangnya (jamak) menjadi kata tunggal.
            Misal:

“Banyak tokoh-tokoh politik saat ini lebih mempertimbangkan besarnya tunjangan ketimbang mewakili konstituennya.”

(bisa ditulis: “banyak tokoh ……” atau “para tokoh…..” atau “tokoh-tokoh….”)

19) Penghematan huruf seringkali bisa dilakukan dengan cara membetulkan
kerancuan kata yang salah, terutama pada kata kerja yang luruh akibat awalan
“me”.
            Misal:
“memperkirakan” …..dibetulkan sebagai “memerkirakan”
“mempukul”…………dibetulkan sebagai “memukul”
“memperkarakan” …….dibetulkan sebagai “memerkarakan”

Jelas Pangkal Dibaca

            Kejelasan, selain faktor kelengkapan 5 W 1 H, merupakan unsur penting dalam bahasa jurnalistik. Ekonomi kata tak akan tercapai bila tidak ada kejelasan dalam hal menulis. Ketidakjelasan pada kalimat pertama, yang kemudian diulang pada kalimat berikutnya, akan membuat seluruh tulisan tak dibaca.
Untuk sebuah kejelasan tulisan diperlukan pemahaman si penulis akan persoalan yang akan ditulis. Selain itu, si penulis harus memiliki kesadaran akan karakter pembaca dan segvmentasi pasarnya.
Memahami betul persoalan yang akan ditulis, berarti menguasai bahan penulisan dalam sebuah kerangka sistematik. Tulisan tak boleh kacau. Kalimat-kalimatnya tak boleh serba melayang. Bumbu- bumbu cerita yang tidak relevan harus dibuang.
Penulisan yang kurang bahan akan menghasilkan tulisan yang mengambang. Tapi ada kemungkinan terlalu banyak bahan, akan membuat orang kesulitan menulis. Apalagi kalau panjang tulisan telah dibatasi.
Dalam penulisan jurnalistik, bahan saja tak cukup karena harus disertai informasi faktual dan detil hasil pengamatan, wawancara. Tulisan yang jelas juga harus memperhitungkan syarat teknis komposisi, antara lain tanda baca yang tertib, ejaan yang tak terlalu menyimpang dari standar dan pembagian tulisan secara sistematik dalam bentuk alinea-alinea.
Kejelasan meliputi dua hal, yaitu unsur kata dan unsur kalimat. Antara lain dengan berhemat terhadap kata-kata asing. Kata asing yang tak perlu bisa dihilangkan, terutama apabila pembaca kemungkinan telah mengerti. Kalau tidak bisa, gantikan dengan kata padanan yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Misalkan: reshuffle, approach, single, program-oriented, meter per square dan sebagainya. Kata "cutbrai" atau "komprang" lebih dimengerti ketimbang bell-bottom.
Demi kejelasan, pemakaian akronim secara berlebihan dan "sewenang-wenang" harus dihindarkan. Kecenderungan "bangsa" Indonesia adalah suka menyingkat, mengakronimkan sesuatu. Bahkan belakangan ada kekecenderungan mengakronimkan akronim. Jelas ini sebuah tindakan sewenang-wenang. Contoh yang ekstrem adalah Inpres (sebuah akronim) Desa Tertinggal disingkat menjadi IDT. Juga ABRI Masuk Desa disingkat menjadi AMD.[3]
Ada pula akronim yang dibuat sedemikian rupa hingga melecehkan kaum perempuan dan mengarah ke sarkasme seks, misalkan "gersang" (segar merangsang), "pentil kecakot" (penjaga telepon kecamatan kota), "susu tante" (sumbangan sukarela tanpa tekanan), "sikondom panjang" (situasi, kondisi, domisili, pandangan dan jangkauan), "kutilang darat" (kurus, tinggi, langsing, dada rata) dan sebagainya. Akronim seperti ini, atau akronim apapun, sebaiknya dihindari karena bisa menimbulkan gangguan dan kesalahpahaman pada pembaca. Coba saja baca kalimat di bawah ini:

           “Cinkom merumuskan keruk nasi melalui jagungnya dengan semboyan gepeng dan menghindar dari sasus. Pengrah mendukung dengan sebuah deklarasi yang
disesuaikan dengan sikon. Hanra dan wanra bersatu membentuk barberi."

Apa Anda tahu maksudnya?! Barangkali untuk mengerti kita mesti mengurai kumpulan akronim yang ada di kalimat tersebut yaitu "Cinkom = Cina komunis", "keruk nasi = kerukunan nasional", "jagung = jaksa agung", "gepeng = gerakan penghematan", "pengrah = pengawal merah", "hanra = pertahanan rakyat", "wanra = perlawanan rakyat", "sikon = situasi dan kondisi", "barberi = barisan berani mati". Betapa memusingkannya!
Pemakaian kata majemuk atau jamak (yang seringkali ditulis dalam bentuk kata ulang) sebisa mungkin harus dihindarkan. Kata majemuk seringkali bisa digantikan dengan kata bilangan.
Contoh:
"Pada malam takbiran terdengar beduk bertalu-talu di langgar-langgar, surau-surau dan keesokan harinya setiap rumah akan banjir ketupat-ketupat, opor-opor ayam, daging-daging semur, gulai-gulai kambing untuk disantap bersama". (Bisa ditulis: "Pada ..bertalu-talu di setiap langgar dan surau dan keesokan harinya setiap  rumah akan banjir berbagai ketupat, opor ayam, daging semur dan gulai kambing untuk disantap bersama).

Perlu juga dicatat bahwa dalam bahasa Indonesia sebuah kata tak memiliki istilah gender sebagai sejumlah bahasa asing. Dengan demikian istilah mahasiswa-mahasiswi, pemuda-pemudi, raksasa-raksasi bisa ditiadakan dan diganti dengan bentuk kata jamak seperti “para” dan sebagainya.

Pemilihan Judul

                Judul yang digunakan sebaiknya tidak lebih dari 5 kata. Idealnya hanya 3 kata saja. Judul yang terlalu panjang akan meminimalisir berita karena judul umumnya ditulis dengan huruf yang berukuran besar.  Namun, jangan pula demi efisiensi, kita membuat judul hanya satu kata seperti semua tulisan Putu Wijaya dan sebagian besar “Catatan Pinggir” Gunawan Mohamad di majalah Tempo.
Judul sebaiknya eye catching (menarik perhatian) agar berita bisa menarik perhatian, namun hindarkan kemungkinan terjadinya pemlesetan makna (misleading) yang membuat pembaca membuat penafsiran yang melebihi fakta sesungguhnya.

Bentuk Penulisan
            Untuk mengoptimalkan penulisan jurnalisme lingkungan, sebaiknya penulisan menghindari model hardnews atau straight news dan lebih memilih untuk menggunakan gaya news features atau features. Sebab pada model hardnews, sebagaimana bisa dijumpai pada berita yang diproduksi kantor berita, berita yang disajikan umumnya adalah kering dan membosankan. Selain itu juga tak memberikan nuansa dan detil yang mampu menguras perasaan dan empati pembaca.
            Untuk menulis sebuah  news features atau features jangan lupa untuk memperhatikan lead pada kalimat pertama berita kita. Binatang apakah lead itu?
Lead adalah beberapa kalimat yang ada di bagian paragraf pertama sebuah tulisan, entah berita (straight news/ hard news), feature atau pun news feature. Lead merupakan sebuah bagian tulisan yang digunakan untuk menangkap minat pembaca. Bisa diandaikan, seseorang menulis tanpa lead itu ibarat orang memancing tanpa kail.
Jadi lead berfungsi untuk mengail pembaca. Setiap wartawan sadar akan vitalnya lead, terutama dalam tulisan feature dan news feature. Lead mempunyai fungsi, selain untuk menarik pembaca agar mengikuti cerita, juga untuk membuat jalan alur cerita menjadi lancar.
            Problem yang kerap dihadapi dalam menulis lead adalah pemilihan kombinasi kata-kata yang harus piawai. Pengobralan kata akan membuat menjadi tak efektif.
Bandingkan 2 lead ini:
1.      “Mata yang coklat dan dingin itu kian mengecil seperti sipit, ketika mengamati sebuah wajah. Ia seolah-olah menembus tempat tersembunyinya kejahatan. Itulah mata seorang polisi.”
2.      “Inspektur Suseno mempunyai mata yang dingin hingga bila melihat seseorang seolah-olah menembus pikiran orang yang dilihat. Inspektur Suseno punya pandangan yang bermata dingin, yang tampaknya unik di kalangan sesama polisi.”

Mana yang lebih menarik? Tentu yang nomor satu. Kenapa?!
            Lead juga harus punya nyawa dan tenaga.. Lead harus menggunakan kata aktif, terutama yang ringkas dan hidup agar memberikan kekuatan untuk “bergerak”. Kata sifat (seperti “ramping”, “ringsek”, “montok”, “mengkilat”, dll) bisa memberikan andil untuk mempercantik dan menambah vitalitas lead.

Lead Sebagai Senjata
Seorang wartawan mempunyai banyak cadangan senjata lead, puluhan mungkin ratusan jumlahnya. Sebagian digunakan untuk menyentak pembaca, sebagian untuk menggelitik keingin-tahuan pembaca, sebagian lagi digunakan untuk mengaduk imajinasi pembaca. Namun demikian, seorang wartawan jarang menyadari lead apa yang digunakannya dalam menulis.
            Untuk itu lah barangkali kita perlu meneliti keragaman berbagai jenis kail aneh yang kita sebut sebagai lead ini.

Lead Ringkasan
Lead ini biasa digunakan dalam penulisan berita keras. Yang ditulis biasanya hanya inti cerita. Pada pembaca diserahkan keputusan untuk terus membaca atau tidak, berminat atau tidak. Lead jenis ini kerap digunakan bila sang wartawan punya persoalan yang kuat dan menarik. Lead ini gampang dibuat, hingga biasa digunakan oleh para wartawan yang buru-buru karena diuber deadline atau bila sedang kebingungan mencari lead yang lebih baik.

Contoh:
“Latar belakang pendidikan agama dan hobinya berjudi semasa muda merupakan kombinasi yang bikin polisi Dede Isharuddin jadi musuh yang berbahaya bagi para penjudi di kawasan Tanjung Priuk”. (Dari kalimat ini pembaca bisa menduka bahwa cerita selanjutnya adalah pertarungan antara kepala polisi dengan para penjudi di Priuk).

Lead Bercerita

Jenis ini digemari para penulis cerpen atau novel sebab selalu menarik sekaligus membenamkan pembaca. Cara pembuatannya adalah dengan melukiskan suasana dan membiarkan pembaca jadi tokoh utama. Bisa dengan cara menciptakan kekosongan yang kemudian secara mental dengan sendirinya akan diisi oleh pembaca. Atau membiarkan pembaca mengidentifikasikan diri di tengah-tengah kejadian yang berlangsung. Hasilnya, kita yang seperti menyaksikan adegan film seorang koboi jagoan tengah kehausan di padang pasir, betul-betul merasa dahaga luar biasa. Misalnya film Exorxist yang tengah kita tonton, maka kita merasakan bahwa setah berada di keliling kita.


Contoh:
Batu-batu besar menengadah mengancam sekitar 60 m di bawah, sementara desis angin seperti ingin mendorong orang terbang ke bawah. Secara periodik batuk kronis kawah Mahameru menimbulkan getaran kecil yang membuat butiran pasir lereng Arcapada berlarian ke bawah. Saat itu Bambang tengah berjuntai di ujung tambang pada lereng curam”.

Contoh lain:
“Petugas Satpam Gimin melihat dengan gemetar ke arah laras senjata perampok, kemudian meloncat ke samping secepat lompatan kucing sambil mendepak senjata itu. Seperti dalam film Django, ia kemudian mencabut revolver di pinggang dan menembakkannya.”.

Lead Tudingan Langsung
Lead ini mengajak komunikasi langsung dengan pembaca. Pada lead jenis ini kerap ditemukan kata “Anda” yang disisipkan pada paragraf pertama. Kelebihan lead jenis ini adalah “memaksa” pembaca untuk terlibat meski kerap tidak secara rela. Pembaca sering merasa ditantang dan dipaksa masuk ke cerita.

Contoh:
Anda kira, Anda warga yang taat pada hukum. Mungkin. Tapi Anda, seperti yang lain juga, ternyata melanggar hukum beberapa kali”.

Lead Penggoda
Lead jenis ini digunakan sebagai alat pemikat dengan cara mengelabui pembaca lewat gurauan segar. Tujuan utamanya tak lain adalah menggaet perhatian pembaca dan menuntunnya agar membaca seluruh cerita. Lead jenis ini biasanya ringan dan pendek. Umumnya digunakan teka-teki yang bikin pembaca penasaran.

Contoh:
“Ia memiliki 200 kaki, seribu jari kaki, seratus hidung dan beberapa terompet”. (Pembaca akan bertanya-tanya, cerita apakah yang bakal dihadapinya. Mahluk aneh atau apa? Ternyata si wartawan ingin bercerita tentang barisan drum band Indonesia yang sedang berbaris di Festival Pasadena, bukan tentang serangga apalagi monster).



Contoh lain:
“Wanita berhidung tinggi itu bilang, “Ogah, ah,” tapi toh mau juga”. (Barangkali pembaca akan terkecoh dan menduga ia tengah membaca cerita tentang seorang perempuan nakal, atau selingkuh seorang tokoh wanita. Tentu saja ini salah, karena si wartawan ingin cerita tentang seorang perempuan bangsawan Inggris berusia 71 tahun yang selama 40 tahun menampik pinangan Sir Charles Birmingham, 75, yang masih tergolong keluarga kerajaan).

Selain itu masih ada berbagai jenis lead lain. Antara lain lead pasak, lead kontras, lead pertanyaan, lead deskriptif, lead stakato, lead ledakan, lead figuratif, lead epigram. Lead literer, lead parodi, lead kutipan, lead dialog, lead kumulatif, lead suspensi, lead urutan dan lead sapaan.
            Di luar lead yang telah disebut masih banyak lead lain yang belum pernah diteliti secara cermat dan ditandai oleh para pengamat bahasa (pers). Namun sesungguhnya para wartawan setiap hari secara naluriah terus melahirkan berbagai bentuk dan kombinasi lead baru.

Jangan Lupa: Memberi Jiwa Pada Tulisan
            Wartawan yang berpengalaman selalu berupaya memberi jiwa pasa setiap tulisan yang dibuatnya, seperti halnya cerita tentang Tuhan yang meniupkan nafas kepada tanah lempung saat penciptaan Nabi Adam. Namun pada kenyataannya bentuk tulisan juga mempengaruhi apakah kita punya peluang untuk melakukan “tiupan kehidupan” pada sebuah tulisan atau tidak.
            Sebuah tiupan kehidupan bisa diberikan dengan cara menampilkan sisi kemanusiaan dari obyek cerita/tokoh yang sedang ditulis.

Contoh:
            “Ia adalah deorang anak yatim piatu yang diasu paman dan bibinya. Orang tuanya dibunuh seorang penyihir jahat saat ia  mesih berusia beberapa hari. Tubuhnya kerempeng, rambutnya yang tumbuh secapt selalu awut-awutan. Penampilannya selalu aneh. Hingga usia 11 ia lebih mirip seekor kucing kudisan. Tgempat tidurnya adalah sebuah lemari kecil di bawah tangga rumah sang paman…..dst.”

            Cara lain adalah lebih banyak membuat deskripsi suasana, ruang dan kejiwaan. Istilah kerennya, kita mesti menulis secara naratif (narative journalism). Untuk melakukan hal ini kita membutuhkan sebuah pengamatan yang baik.
            Setting atau latar menjadi penting dalam sebuah tulisan. Misalnya pabrik, ruang kantor, ruangan kelas, lapangan bola, toko dan sebagainya dalam tulisan sedapat mungkin harus dideskripsikan, meski tak perlu secara panjang-lebar. Deskripsi pokok biasanya mengenai besar kecilnya latar tersebut. Misaalnya sedapat mungkin dengfan ukuran, bila perlu dengan sebuah perbandingan (umpamanya: Vatikan yang luasnya hanya satu setengah kali kompleks Senayan).
            Deskripsi lain menyangkut detil yang dapat dipakai untuk mendukung (bukan sekadar mewarnai) lukisan pribadi sang tokoh atau persoalan yang tengah dibicarakan. Misalnya di ruangan itu ada benda antik, personal komputer, koleksi buku, atau kalender bergambar perempuan telanjang, atau kursi yang sudah jebol; ataukah di halaman pabrik itu banyak besi tua yang menumpuk, dsan di kamar guru itu banyak map berantakan. Ambil satu-dua detil yang paling mencolok, paling khas, paling mendukung suasana atau gambaran yang ingin kita kemukakan.
            Anekdot juga kerap menunjang penuturan bergaya naratif. Karena itu berupayalah memperoleh dan menyajikan anekdot yang sesuai dengan arah cerita yang tengah dibuat. Dalam hal ini, anakdot tak selamanya merupakan cerita yang lucu. Anekdot berarti tiap cerita kecil yang menarik, untuk menunjang suatu hal yang ingin kita kemukakan. Misalnya, para anggota pemadam kebakaran yang sambil menunggu matinya api Gedung Sarinah di Jakarta yang tengah terbakar, main catur. Atau seorang pengusaha muda yang sukses yang bila memasuki ruangan kerjanya setiap bahawan berdiri dari kursi dan mengucapkan “Selamat Pagi” sambil menyilangkan tangan kanan di kening.
            Kian kaya tulisan sebuah cerita dengan anekdot, kian memikat dan kian hidup tulisan kita. Tulisan kita akan penuh warna-warni. Untuk itu pergunakan juga kiutipan untuk memberikan munculnya nafas kehidupan pada tulusan. Namun poerlu diingat, kutipan jangan terlalu banyak dan berlebihan, jangan terlalu panjang. Upayakan memilih kutipan yang paling khas untuk sang tokoh, atau yang paling lucu, bijak dan cemerlang.
            Terakhir. Jangan lupa untuk senantiasa mengemukaakan alasan, kenapa cerita kita ini layak untuk dikemukakan pada pembaca. Karena unik? Karena Besar? Karena pertama kali? Karena sedang hangat? Dan seterusnya.*** 



[1] Masalah ini lebih detil bisa dibaca pada Djatfar H. Assegaff, Jurnalistik Masa Kini, Ghalia Indonesia,
1991 (Cetakan ke Tiga) dan sebuah tulisan yang banyak saya pakai yaitu Goenawan Mohamad, “Bahasa Jurnalistik Indonesia” dalam Christianto Wibisono (penyunting), Pengetahuan Dasar Jurnalistik, Penerbit Media Sejahtera, 1991 (Cetakan ke Dua).

[2] Misalkan kalimat yang terdiri dari kumpulan losa kata baku seperti "pembangunan", "tinggal landas",
"delapan jalur pemerataan", "peran serta", "swadaya", "dalam rangka", "demi suksesnya program ...",
"untuk menunjang", "menumbuh-kembangkan" dan lain- lain. Juga kalimat slogan yang sesungguhnya
merupakan sebuah silogisme tak jelas seperti "memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan
masyarakat".

[3] Bersamaan dengan munculnya "budaya" eufemisme pers di jaman Orde Baru (berlawanan: di jaman
Orla yang muncul fenomena hiperbolis bahasa jurnalistik), muncul pula kebiasaan mengartikan
akronim resmi versi pejabat dengan arti yang menyiratkan sebuah fenomena budaya tanding (counter
culture). Kita bisa melihat bagaimana di jaman "Orde Daripada", PKK diplesetkan sebagai
"Perkumpulan ibu-ibu Kurang Kerjaan", KUHP diplesetkan sebagai "Kasih Uang Habis Perkara ',
PJPT diplesetkan sebagai "Pikun Jompo Peot Tua", RCTI diplesetkan sebagai "Ramai Ceritanya Tiba-tiba Iklan" atau "Raja Turunan Iblis". Atau falsafah Tut Wuri Handayani yang diplesetkan sebagai
"Mbak Tutut wira-wiri harus dilayani". Lihat juga munculnya fenomena bahasa Prokem di kalangan
anak muda, yang oleh sejumlah media massa diakomodir sebagai sebuah rubrik tetap. Contohnya
"Pojok Ngalam" (dari asal kata "Pojok Malang") di Harian Surya terbitan Surabaya. Atau mode
penggunaaan bahasa asing dalam komunikasi verbal yang mengesankan nada kocak sekaligus kabur,
misalnya pra one two land untuk "perawan tulen", see kill untuk "sikil" (Jw: kaki), read one untuk
- Ridwan" dan sebagainya. Juga bahasa plesetan ala Yogya yang sering justru sengaja menyalah-artikan sebuah pengertian dengan pengertian yang baru sama sekali, misalnya "ICMI" jadi "Icmi (Ismi) Azis". Atau sekadar menyambung kata dengan sejumlah kata lain yang memberikan makna baru, misalnya "Jangan begitu lha yauw" diteruskan dengan "Lha yauw (layu) sebelum berkembang". Secara konsep, "plesetan" seringkali diartikan sebagai penggelinciran kata didasarkan pada kemiripan bunyi yang kemudian menghadirkan makna baru yang betul- betul berbeda. Kata-kata ini bisa diteruskan secara sambung- menyambung hingga membentuk kata-kata populer (bisa pribahasa, bisa lagu, bisa sapaan dll) yang "terpeleset" beberapa hurufnya. Misalkan saja kata "hamil" bisa lantas menjadi "hamil
menyelam minum air", "air love you", "love you sebelum berkembang", "gembang dandang gula", "gula niki sinten" dan seterusnya.
Daniel Dhakidae dalam sebuah makalahnya memberikan contoh bagaimana kata-kata dalam bahasa
jurnalistik kehilangan makna akibat pengakroniman yang semena-mena. Ia memberikan contoh sebuah
parodi Kompas yang dibuat dengan merujuk peristiwa berkaitan dengan pengalaman Direktur Jendral
Departemen Kebudayaan (dulu), Dr. Haryati Subadio, ketika menonton pertunjukan debus dari Banten,
yang konon ketakutan setengah mati (Kompas, 1 Februari 1984). Headline tulisan tersebut adalah "Bu
Dirjenbud Depdikbud dagdigdug". Lihat Daniel Dhakidae, "Bahasa, Jurnalisme dan Politik Orde Baru"
dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, loc cit.
Share this article :

0 komentar:

Post a Comment

 
Support : Femin Collection | Habitat Design | Kreatifa Media
Copyright © 2013. Belajar Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Habitat Design Published by Kreatifa Media
Proudly powered by Blogger